Dongeng dari Negeri Bola
By:Yusuf Dalipin Arifin
Published on by Indie Book Corner
Sepak bola rupanya tidak pernah benar-benar bisa subur dalam langgam hidup yang begitu santai. Oksigen sepak bola adalah ketika dada masih membuncah dengan energi untuk menaklukkan dunia. Oksigen sepak bola adalah suasana ketika tuntutan bertahan hidup masih menjadi prioritas utama. ----- Review Buku “Dongeng Dari Negeri Bola”: Betulkah Sepak Bola Berdiri di Atas Semua Golongan? Membaca buku sepak bola yang denyut nadinya nir-taktik dan nir-analisis mendatangkan kepuasan tersendiri. Pembaca tidak perlu memulai membacanya dari halaman satu secara berurutan hingga halaman terakhir dan mengernyitkan dahi pula dari awal hingga akhir. Hal ini bisa dipraktikkan ketika membaca buku karya jurnalis senior, Yusuf ‘Dalipin’ Arifin, berjudul Dongeng Dari Negeri Bola. Pengalaman membaca buku ini saya mulai di bagian Perkara Nama Dari Sepak Bola (halaman 155) dan Sikap Antiintelektual Pemain Bola Inggris(halaman 161). Mengakhiri membaca buku ini di dua bagian terakhir yang saya selesaikan yaitu Menghidupkan Cerita Rakyat Bernama Liverpool dan Simonides dan Ingatan yang Terpahat. Dikatakan isi buku ini sesuai dengan judulnya yaitu dongeng tidak juga, karena buku ini secara keseluruhan banyak mengklarifikasi pandangan jamak (tapi keliru) para penonton layar kaca sepak bola liga Inggris yang tumbuh pesat di Asia Tenggara. Seperti yang juga saya pahami bahwa Arsenal itu terletak di London Utara, yang ternyata dalam sejarahnya dan menjadi pegangan kuat para suporter Tottenham Hotspur, klub asuhan Arsene Wenger ini adalah pendatang dari kawasan Plumstead, London Tenggara, yang (katanya) hanya menumpang di wilayah London Utara. Mental insuler yang mengakar kuat dalam diri penduduk London turut memelihara perseteruan ini, ditambah dengan torehan prestasi Arsenal yang melampaui Tottenham. Gudang Peluru dari Colney tiada henti menjadi ancaman bagi suporter Spurs yang markasnya White Hart Lane (hanya) berjarak 5,5 kilomete dengan Stadion Emirates. Tidak hanya kepada Arsenal, sakit hati dan rasa tidak adil itu juga datang dari keberhasilan Leicester City menjadi juara Liga Inggris musim 2015/2016. Karena keberhasilan Leicester City ini, di bagian Leicester City, Ketidaksetaraan, dan Canis Major (halaman 98) penulis mengisahkan: Karenanya penggemar sepak bola Inggris, kecuali mungkin pendukung Tottenham Hotspur, seperti bersorak bersama menyambut hal yang tak terduga ini. Mereka yang merasa senasib dengan Leicester berharap bahwa ketidaksetaraan yang sistemik maupun alami bisa dikalahkan. Ah, semoga Harry Kane membaca bagian dari buku ini dan tidak berpikir lama untuk segera hengkang. Selain upaya klarifikasi, buku ini juga menjelaskan hal-hal yang saling paradoks antara bagian satu dengan bagian yang lain. Di setiap akhir tulisan pembaca seolah bertanya balik ke buku ini, ‘Ohh, begitu ya yang sebenarnya?’, ‘Lho, kenapa bisa begitu?’, ‘Kasian banget ya klub ini?. Dua warna dominan di kota Manchester yaitu merah dan biru sedang berjalan dalam babak baru persaingan. Kisah kedua tim dalam buku ini hanya dipisahkan oleh satu tulisan dengan topik “Dan Begitulah Sepak Bola Kini”. Di bagian Hilangnya Sebuah Kepastian menggambarkan bagaimana sepeninggal The Gaffer, Sir Alex Ferguson, cukup mengganggu dominasi Manchester United dalam hal perolehan gelar dan rivalitas di level kota dengan Manchster biru. Era kejayaan yang begitu panjang seperti film kolosal baru saja ditutup. Ditutup dengan luapan tangis yang diibaratkan seperti sebuah kematian. Dan kebahagiaan baru bagi Manchester City baru saja dimulai dengan ragam proyek ambisius dan jangka panjang. Di bagian Revolusi Biru Langit Manchester Timur (halaman 49-54), kedatangan Sheikh Mansour dari Qatar telah melakukan perubahan besar-besaran terhadap infrastruktur sepak bola dan segala konektivitasnya yang dipusatkan di Etihad Stadium. Perubahan yang tak hanya mendatangkan prestasi demi prestasi bagi Manchester City, tetapi juga gairah baru perekonomian di kawasan Manchester Timur. Di balik banyaknya hal yang kontras satu sama lain dalam buku ini, bisa dibilang adalah tidak lain dari upaya penulis agar para penonton layar kaca di Asia Tenggara punya kesadaran dan kritis terhadap kekuatan magis industri sepak bola yang punya potensi mengeksploitasi rekening para penonton layar kaca setiap musim. Bentuk eksploitasi yang biasanya dibalut atas nama loyalitas dan fanatisme. Seperti di bagian Hati-Hati Mencintai Sepak Bola (halaman 143-148).Penulis mengawalinya dengan pikiran Herbert Marcuse yang melakukan kritik terhadap kemampuan industrialisasi menghipnotis individu para konsumennya, yang jika dikaitkan dengan putaran kapital di industri sepak bola, ternyata memiliki keunikan. Keunikan karena unsur tribalisme melalui praktik tribalistik para suporter tradisional maupun suporter layar kaca tidak disingkirkan, tetapi dilestarikan. Bagi pemain yang punya kemampuan di atas rata-rata, tidak perlu lagi mempersoalkan kesetiaan terhadap klub yang sudah dianggap berjasa ataupun klub yang punya ikatan lahir karena orang tua sang pemain menanam tali pusarnya di kota yang sama dengan klub tersebut. Atas nama profesionalisme, para agen pemain bebas melakukan negosiasi kepada klub mana saja. Dan hal ihwal kepindahan pemain kemudian menjadi semacam welcome drink bagi para konsumen industri ini. Di akhir bagian ini dikatakan: bercurigalah dengan perasaan cinta, kesetiaan, melankolia, dan romantisme Anda sendiri terhadap sebuah klub. Rawatlah sedikit ruang sinis dalam pikiran. Supaya kita tidak mudah diperah oleh perasaan kita sendiri. Tumpul dan layu diserap pusaran industri sepak bola. Karena ada kata ‘peras’ di balik kata ‘perasaan’. Paolo Maldini, Javier Zanetti, Ryan Giggs, Paul Scholes, hingga Hendra Wijaya, Bambang Pamungkas dan Gianluigi Buffon, mungkin bisa dikecualikan dari narasi ini. Di bagian-bagian selanjutnya, ada bagian yang terasa cukup berat ditulis oleh Yusuf Arifin, utamanya tentang kaitan sepak bola dengan politik dan rezim. Ada frasa -isme ataupun -nomicsdisematkan di balik tonggak sebuah rezim menjalankan visi misi politiknya. Era Ronald Reagen menjadi Presiden AS dilekatkan dengan Reagenomics, atau paket ekonomi berjilid-jilid Presiden RI yang dilekatkan dengan Jokowinomics. Perempuan tangguh Inggris Raya Margaret Thatcher dilekatkan dengan Thatcherisme yang melakukan terobosan terhadap kelesuan industri di Inggris yang diawali sejak tahun 1979. Terobosan dalam melakukan liberalisasi terhadap sektor industri, ekonomi hingga kebijakan politik. Olahraga sepak bola dan praktik hooliganisme termasuk hal yang dianggap mengganggu jalannya agenda ekonomi Inggris Raya. Tragedi Hillsbrough pada tahun 1989 yang menewaskan 96 suporter Liverpool membuka mata Thatcher untuk meliberalisasi industri yang berputar di sepak bola. Dan produknya pada tahun 1992, telah lahir format baru kompetisi Liga Inggris. Format Premier League ini menggeser banyak hal dari format kompetisi sebelumnya. Pembagian hak siar dan penyesuaian jadwal yang mengikuti kehendak pasar membuat klub dan industri media sama-sama diuntungkan. Liberalisasi ala Thatcher yang mendatangkan wajah baru sepak bola Inggris tetapi juga kebencian yang terus terpelihara bagi hooligans karena rasa trauma dari pernyataan subjektif Thatcher terhadap tragedi Hillsbrough. Keberhasilan Wigan Athletic menjuarai Piala FA, Leicester City, hingga kebangkitan Swansea City yang biasanya dinarasikan dalam bentuk grafik atau statistik kemenangan dan jumlah gol, dalam buku ini keberhasilan tiga klub (yang dianggap) semenjana ini dinarasikan dalam ragam kisah. Di bagian Kobar Api Kehidupan Swansea dikisahkan melalui satu puisi karya Dylan Thomas yang jika dipadankan dengan kaidah bahasa Indonesia berarti Jangan Pasrah Kepada Malam Melenakan. Huw Jenkins berhasil memimpin dengan penuh kesabaran setiap proyek perubahan di tubuh Swansea. Perubahan dari sisi kelayakan dan kapasitas stadion, pengelolaan saham, pengelolaan hak siar hingga membangun relasi yang baik antara penduduk lokal sebagai suporter, manajer, pemain, dan seluruh komponen yang terlibat dan membawa kebaruan bagi Swansea City. Rage, rage, rage against the dying of the light. Huw Jenkins melakukannya ketika kobar api kehidupan Swansea hendak padam (halaman 71). Jika benar sepak bola itu berdiri di atas semua golongan, tidak sepantasnya ‘jemaat’ sepak bola menghalangi lalu-lalang para jemaat gereja Anglikan di Charlton dalam menjalankan ibadatnya, hingga menimbulkan keributan karena perebutan parkir antara pengunjung pub yang akan menyaksikan pertandingan Charlton Athletic dengan para jemaat yang hendak beribadah di gereja yang juga berdekatan dengan pub yang ramai saat sepak bola dipancarkan di layar kaca dengan begitu masif. Di bagian Gereja (Anglikan) vs (Agama) Sepak Bola, kejadian ini merupakan fakta yang disaksikan langsung oleh penulis. Ada ketakutan bagi agama-agama besar dan mapan di Inggris terhadap kehadiran sepak bola yang dianggap sebagai ‘agama baru’ bagi penduduk Inggris. Seperti yang dikatakan di halaman 21 buku ini bahwa pertandingan sepak bola adalah sebuah representasi cerita kehidupan, nilai kehidupan, kebenaran, yang buruk dan yang baik. Di halaman 22 kemudian dikatakan bahwa Manajer sepak bola menjadi tak ubahnya penggembala umat. Besar dan tidaknya sebuah klub sepak bola tergantung bagaimana sang manajer mengelola kesebelasannya. Semakin sukses sebuah klub bola, maka semakin banyak pendukungnya. Imbasnya? Manajer bisa membawa klub meraih kemenangan, tanah yang dijanjikan, ‘surga’, dan menjaring umat sebanyak-banyaknya. Manajer adalah nabi, pemain adalah pendeta-pendeta, dan pendukung adalah umat. Ketakutan yang membuat petinggi gereja Anglikan geleng-geleng kepala dan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Sheikh Mansour langsung merealisasikannya dengan menyediakan ruang untuk beribadah di stadion megah yang dibangun di timur kota Manchester. Sekiranya, cukuplah sepak bola dianggap sebagai olahraga atau permainan (saja) yang berdiri di atas semua golongan. Termasuk mengakui format yang diajukan Hans Meyer bahwa dari 25 anggota tim sebuah tim sepak bola, terdapat satu atau dua orang yang bisa mencapai derajat tertinggi di tingkat universitas, lima atau enam pemain bisa lulus akademi, sepuluh hingga separuh skuat layak mengerjakan pekerjaan buruh manual atau kantoran, yang lima di antaranya bodoh dan setidaknya satu orang atau lebih di antaranya akan berakhir sebagai gelandangan kalau saja tidak jadi pemain profesional. Jadi, bagi kampus yang tertarik memberikan beasiswa kuliah kepada pemain Timnas U-19 di Indonesia jangan tanggung-tanggung dong, sekalian dikuliahkan seluruh pemain.
This Book was ranked at 17 by Google Books for keyword buku cerita rakyat.
Book ID of Dongeng dari Negeri Bola's Books is v-hiDwAAQBAJ, Book which was written byYusuf Dalipin Arifinhave ETAG "A5lp1Tvbnx4"
Book which was published by Indie Book Corner since have ISBNs, ISBN 13 Code is and ISBN 10 Code is
Reading Mode in Text Status is false and Reading Mode in Image Status is true
Book which have " Pages" is Printed at BOOK under Category
This Book was rated by Raters and have average rate at ""
This eBook Maturity (Adult Book) status is NOT_MATURE
Book was written in id
eBook Version Availability Status at PDF is true and in ePub is false
0 komentar:
Post a Comment